Anak Kambing Bersama Matinya Seorang Bocah
Daun ketapang telah menguning. Rontok satu demi satu dan terbang mengikuti angin. Kontribusi masa dihidupnya telah kadaluarsa, digantikan oleh daun ketapang muda yang baru. Di banir akar yang kecil, di bawah batang pohon Leda yang terletak di samping pohon ketapang seorang anak yang beranjak dewasa duduk berisitirahat. Nampaknya rumput untuk ternaknya sudah cukup.
Matahari masih telrihat separo di kaki gunung. Gradasi sinarnya menembus langit di atas kepala. Nuda terbangun, suara adzan ashar sudah selesai. Tak mungkin ia terus menerus duduk di sana. Ternak itu tak mungkin mencari makanannya sendiri. Ia terkurung dalam kandang yang tak lebih berukuran 3 m x 3 m. Diangkatnya rumput yang sudah di tali di atas kepala. Beralaskan topi warna coklat yang mengurangi efek tekanan berat rumput di kepalanya. Nuda bergegas pulang.
Ada dua ekor kambing salah satunya sedang bunting 2 bulan. Berharap anaknya nanti adalah upah jerih payah merawat dari juragan. Harapannya. Harapannya yang lain adalah anak pak lurah tak menjadi istri juragan sayur di kampungnya. Nuda memimpikan sebagai seorang kaya yang berpenghasilan tetap. Ia hanya perlu duduk di rumah dan tiap sore banyak pegawainya setor pendapatan hari itu. Khayalannya di kala malam sebelum tidur.
Namun, sebelum khayalan itu berubah jadi kenyataan Nuda masih tetap perlu bangun pagi, mencari rumput di ladang, membersihkan kotoran ternak dan mencacah rumput untuk makan mereka.
Selang beberapa bulan ternak itu akhirnya melahirkan seekor kambing berwarna putih coklat yang lucu. Belum mampu bagi anak kambing itu berjalan tegap. Menyusu induknya pagi, siang, malam. Awal perjumpaan Nuda dengan anak kambing itu, Ia sangat gembira. Sambil berlari Ia mendatangi rumah juragan. Diceritakannya semua kegembiraan itu dengan harapan besar. Harapan seorang anak kecil yatim piatu yang memiliki seekor anak kambing yang baru lahir. Secepat mungkin dan tergesa-gesa mengajak juragan untuk ke kandang yang jaraknya 500 meter dari rumah megah orang tua tak punya anak itu. Gestur dan raut wajahnya sangat sumringah, suasana hati yang begitu membuncah karena khayalannya semakin lama semakin dekat lewat seekor anak kambing.
Nuda sudah membayangkan bahwa nantinya Ia akan merawat anak kambing itu untuk semakin besar. Dikawinkannya anak kambing itu dengan kambing juragan yang lain dan selanjutnya melahirkan kambing-kambing lain.
Membangun sebuah kandang baru miliknya sendiri dan merawat kambing kambingnya sendiri agar semakin banyak. Khayalannya menjadi seorang juragan yang tiap hari mengenakan sarung dan topi koboi. Bangun pukul 07.00 pagi dan menikmati kopi panas yang dibuatkan istrinya yang cantik. Anak Pak Lurah.
Sesampainya di kandang, Juragan melongok ke dalam kandang. Ia melihat seekor anak kambing yang masih payah. Ia sedang menyusu induknya yang juga berwarna putih coklat dengan jenggot yang tipis. Namun, raut muka juragan tak semenyenangkan Nuda. Dilihatnya sekitar kandang dan dilihatnya bocah yang belum lama akil baligh itu. Wajah seorang juragan mulai sedikit berubah, di otaknya terpikirkan beberapa ide.
"Hey, bocah tengik."
"Iya, Juragan."
"Sesuai kesepakatan kita bahwa anak ini adalah hakmu."
"Benar Juragan. Hamba sangat senang akan anak kambing itu."
"Namun, aku berpikiran lain bocah." Sembari juragan menyalakan rokok klobot di tangan kirinya."Apa itu Juragan?" Raut muka Nuda penasaran.
"Aku tak ingin menyerahkan anak kambing ini padamu. Bayanganku di awal bahwa kambing ini akan beranak lebih dari satu. Dan aku akan memberikan salah satunya padamu. Tapi..." Kebulan asap keluar dari mulutnya yang tebal dan berwarna hitam. Pertanda perokok akut.
"Tapi apa Juragan?" Masih penasaran.
"Tapi ternyata kambing ini hanya beranak satu. Maka anak kambing ini bukanlah hakmu. Apa yang menjadi keuntunganku jika anak kambing ini kuberikan padamu sebagai bayaranmu merawat kambing-kambingku." Jelasnya panjang lebar.
"Tapi tidak bisa begitu Juragan." Suara Nuda masih datar.
"Tidak bisa bagaimana. Aku ini bosmu dan kau hanya kacungku. Sudah beruntung kau kuberi pekerjaan ini."
"Kau berbohong juragan. Ini harusnya adalah hakku. Kau mengingkari janjimu." Nadanya mulai naik.
Tapi juragan tak mengindahkannya. Bahkan Ia segera meninggalkan bocah itu di dekat kandang.
"Terserah apa katamu bocah. Tapi keputusanku ini sudah telak. Tak bisa dibantah." Sembari Ia meninggalkan kandang.
Tiba tiba dengan tangan kanan masih memegang arit. Nuda berlari ke arah Juragan berniat melepaskan satu sayatan dengan arit yang biasa digunakannya untuk mencari rumput.
Namun sayang, sebelum Nuda mengenai juragan. Juragan telah menyadarinya dan dengan gampang Ia melumpuhkan anak itu. Mengambil arit dari bocah ini dan mengancamnya dengan mengacungkan arit itu kemuka Nuda.
"Bangsat Kau. Aku sudah berbaik hati padamu. Tapi Kau ingin membunuhku dengan arit yang juga milikku ini. Dasar anak tak tahu diuntung." Teriak Juragan kepada Nuda.
Nuda ketakutan dan saat ada kesempatan berlari Ia berlari secepat mungkin menuju ladang jagung yang berada di sekitar kandang. Ia menghilang di ladang jagung itu.
Juragan dengan marah tak mengejarnya, ia hanya melemparkan arit itu ke arah Nuda, sambil berteriak.
"Dasar anak tak tahu diri. Enyahlah dari mukaku. Pergilah sana sesukamu. Jika perlu matila, sebelum aku yang akan membunuhmu." Teriak lantang Juragan.
Suara itu sudah tak terdengar lagi oleh Nuda. Ia sudah sampai ke dalam hutan. Hanya samar samar Ia mendengar suara orang berteriak.
Nuda terlalu capek untuk berlari lagi. Muka dan tangannya telah tergores merah merah. Bekas sayatan daun jagung yang menyayat kulit mudanya. Terasa perih dan cukup menyakitkan karena terik yang panas ini.
Ia berhenti di bawah pohon waru yang ada di tepi telaga dalam hutan. Ia begitu kesal pada juragan karena telah membohonginya. Hatinya begitu dendam pada manusia berumur 43 tahun itu. Sangat, sangat dendam sampai semua yang ada di pikirannya segera ingin Ia lancarkan untuk melukai Juragan tak punya hati itu.
Denyut nadinya masih kencang. Otaknya berdenyut denyut. Kemarahannya masih membuncak. Tapi Ia letih, keringatnya sudah mengucur di muka dan mengalir di lengannya.
Melihat air telaga yang jernih. Nuda ingin membersihkan dirinya di air itu. Namun sesaat sebelum Ia mendekati air. Lehernya terasa tercekik. Ia susah bernafas dengan baik. Raut wajahnya menjadi biru keungu unguan. Ia berontak karena rasanya lehernya benar benar tak berfungsi dengan baik. Tenggorokannya seakan akan tersumbat sesuatu yang menjadikannya tak bisa bernafas. Tak lama ia terkulai dan jatuh ke tanah. Beberapa menit kemudian ia tergeletak dengan kedua tangan memegang leher. Nafas terakhirnya tersengal. Ia mati didekat telaga.
Juragan yang telah pergi dari kandang sesampainya di rumah Ia mengambil sebuah botol yang terletak di meja kecil. Botol itu tertutup kertas alumunium. Di bawah botol itu tertulis Sarin. Ia mendapatkan botol itu dari temannya orang Jerman yang memberikannya untuk digunakan sebagai pestisida sebelumnya. Sebuah pestisida di Jerman tahun 1938 yang di dunia digunakan sebagai senjata mematikan. Sarin sendiri adalah gas yang tak berwarna, tak berbau dan tak berasa. Nuda telah menghirupnya sebelum Ia dan Juragan menuju ke kandang. Sebuah kebohongan dari Juragan kepada Nuda untuk mencium botol berisi Sarin.
"Coba kau cium botol ini. Aku mendapatkannya dari orang Jerman. Katanya parfum ini begitu enak untuk dicium." Perintahnya pada Nuda.
Nuda membauinya dan mengatakan.
"Aku tak membaui apapun Juragan. Mungkin Kau dibohongi oleh temanmu."
"Oalah, mungkin temanku telah membohongiku akan parfum itu. Baiklah, sekarang kita pergi ke kandang. Aku tak sabar ingin melihat sebuah kehidupan baru dari anak kambingku dan sebuah kematian baru."
"Kematian apa juragan?" Tanya Nuda.
"Tak ada, hanya khayalanku Bocah." Jelasnya.