Apa yang Lebih Menyedihkan dari Membicarakan Orang Lain Di Belakang?
Sebuah wujud iri, marah, kecewa atau tidak suka. Namun, sebatang rokok hampir habis. Air terjun dosa sudah membasahi di atas tempat duduk dan di belakang sebuah cangkir. Hanyalah kalut di atas narasi yang telah ditulis lama.
Apakah orang lain yang dibicarakan sudah dituliskan? Atau ini semacam takdir yang bisa dirubah. Membicarakannya di belakang.
Menyampaikan bahwa orang itu sedang sedih, kesal atau tingkah lakunya begini begitu. Ya, pastinya dengan bumbu bumbu yang disesuaikan dengan pada siapa berbicara dan untuk apa.
Tak lain, banyak yang mencari sekutu atas ketidaksenangan terhadap seseorang. Sangat wajar dalam lukisan kehidupan manusia. Barangkali pada sebuah altar tempat peribadatan malaikat jarang ditemukan atau malah memang tidak ada sama sekali.
Sebagai dalih bahwa manusia tempatnya salah, manusia tidak ada yang sempurna. Pembenaran pembenaran atas sikap antagonis menjadi halal. Di mata kitab hukum yang manusia tuliskanpun sama. Acapkali, membela teman, kawan, kerabat dekat, mitra bisnis, rasa takut, menghindari ancaman menjadi alasan kuat untuk mengatakan benar pada benar yang semestinya salah dan benar untuk kesalahan pada suatu kaum.
Lalu, apa menyedihkannya seseorang yang membicarakan orang lain di belakang? Dengan konotasi menjelek jelekkan
Melalui bahasa yang santun, seseorang yang menyampaikan bahwa Si ini itu bla bla bla sedang memasang jeruji jeruji besi baru di depan pintu hati nurani. Sampai nantinya hati itu menjadi sebuah ruang sempit yang kosong. Sebab banyak kebaikan hanya sempat di depan pintu. Sebab terlalu banyak penghalang untuk masuk.
Sebuah narasi yang datang dari kesubjektifan. Bukan sebagai informan melainkan tulisan yang difungsikan menjadi pengingat. Tak memasang jubah benar dan salah, hanya kalimat kalimat yang kemudian nantinya dibaca kembali untuk mereduksi jeruji jeruji besi yang telah dipasang sebelumnya.