Belajar Bareng : Cuplikan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Di Indonesia
Bagian 1
Banyak pertanyaan-pertanyaan menggema di atas rimba nusantara. Dibebani dengan tiga fungsi hutan menurut kitab hukum pasal 6 Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 yaitu konservasi, lindung dan produksi. Beban yang berat untuk menghadirkan ekonomi yang diterjemahkan dalam banyak sisi, kebutuhan primer, sekunder, meditasi, dan begitu banyak aspek detail dalam acuan antroposentris.
Kemudian bagaimana nasibnya hari ini? Bagaimana dengan kemarin dan besok di masa depan. Bumi dengan ratusan generasi dan peradaban baru. Sedangkan, manusia yang lalu telah cukup berperan menghasilkan hara bagi pertumbuhan tanaman dari jasadnya, manusia sekarang bagaimana kabar? Sepertinya pertanyaan sapiens di peradaban setelah ini cukup punya hak untuk menagih titipan hutan yang ada di pangkuan ibu pertiwi hari ini.
Sejarah panjang mengenai rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia, dimulai pada tahun 1950-an sampai sekarang. Hasilnya ada, walaupun dengan angka yang tidak bisa diterjemahkan sebagai suatu keberhasilan. Tahun 2018 lahan kritis di negara ini masih mencapai 14,01 juta hektar.Berpuluh tahun yang lalu, orang telah memahami cara menanam, merawat dan menjaga pohon; lalu ditambah dengan makin banyaknya orang cerdas, berintelektual dan memahami kehutanan. Mengapa angka lahan kritis Indonesia masih berjuta-juta hektar. Bagaimana menjelaskan tanggungjawab kepada masyarakat tentang rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia.
Bagian 2
Rehabilitasi hutan dan lahan sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kondisi hutan saat ini diartikan sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan. Di mana kegiatan ini dilakukan pada lahan kritis, lahan terbuka dan area bekas kebakaran hutan dan lahan. Lahan terbuka yang dimaksud bukanlah lapangan, melainkan suatu lahan kosong, lahan dengan tutupan semak belukar, dan lahan dengan jumlah pohon paling banyak 200 batang/hektar.
Rehabilitasi yang dimulai sejak tahun 1950-an sebagian besar dikendalikan penuh oleh pemerintah Indonesia dan donor internasional. Sayangnya, hanya terfokus pada aspek-aspek teknis, sedangkan pengaturan kelembagaan untuk pelaksanaan program rehabilitasi secara efektif belum dikembangkan. Kelembagaan yang tidak berjalan baik, berbuntut pada banyak teknik yang tidak diadopsi oleh masyarakat setempat. Dengan bermacam alasan seperti teknik yang kurang relevan, kurangnya pendekatan pada masyarakat, dan bahasa teknis yang diterjemahkan kurang mudah dipahami. Selain faktor teknis, padahal masih terdapat tiga aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam rehabilitasi yaitu aspek sosial-budaya, aspek ekonomi dan terakhir aspek kelembagaan.
Kemudian, pemerintahan Indonesia memiliki masa aktif hanya 5 tahun, sedangkan menanam pohon untuk bisa dilihat pertumbuhannya tidak cukup hanya satu atau dua tahun saja. Minimal butuh waktu 3 sampai 5 tahun untuk mengevaluasi suatu program. Dalam kondisi ini, pemerintah biasanya tidak memungkinkan untuk melakukan evaluasi proyek jangka panjang ini. Akibatnya, evaluasi hanya lembar administratif dan berakhir sebagai kertas-kertas yang ditulis dengan tinta, sebagai syarat menggugurkan kewajiban.
Beda cerita tentang banyaknya areal yang tidak bertuan karena ketidakjelasan status hutan di areal konsesi yang dibatalkan. Era HPH (Hak Pengusahaan Hutan), atau secara sederhana yaitu izin yang diberikan pada perusahaan untuk mengelola hutan alam, di mana memiliki kewajiban untuk melakukan reboisasi dan regenerasi secara komprehensif pada areal konsesi yang diberikan. Namun implementasinya, pengawasan yang kurang dan tidak konsisten peraturan yang ada, mengakibatkan HPH banyak yang dicabut hak konsesinya. Alhasil, berbuntut pada banyaknya tanah tidak bertuan dan areal terdegradasi semakin banyak.
Selanjutnya, daerah aliran sungai (DAS) yang digunakan sebagai unit pengelolaan. Pendekatan yang holistik menjadi terobosan untuk mengevaluasi hubungan antara faktor biofisik dan intensitas kegiatan sosial, ekonomi dan budaya dari hulu ke hilir, sekaligus merupakan cara yang cepat dan mudah dalam mengevaluasi dampak terhadap lingkungan. Sayangnya, masih terjadi perencanaan yang kurang terpadu sehingga tidak bisa dilaksanakan di tingkat lapangan. Keefektifan dan relevansi sistem perencanaan masih diragukan, dan perencanaan tidak sejalan dengan peraturan pemerintah setempat, serta kriteria dan indikator pengawasan belum sepenuhnya lengkap dan matang.
Namun, dibalik cerita-cerita menyedihkan tadi. Terdapat bumbu-bumbu positif yang masih enak untuk dinikmati. Adanya program rehabilitasi hutan dan lahan memberikan dampak bagi produktivitas lahan. Penanaman dengan tujuan beragam produk memberikan masukan dan keluaran yang baik pada suatu lahan. Produk beragam seperti kayu, buah-buahan, kayu bakar dan tanaman pangan beserta sayur-mayur sebagai tanaman tumpangsari, menghasilkan padat hasil di lahan yang sama. Banyak program rehabilitasi dilaksanakan dengan sistem agroforestri, yaitu sistem pemanfaatan lahan, dengan menggabungkan kehutanan dengan pertanian, bahkan bisa juga peternakan dan perikanan yang saling menguntungkan dari setiap aspek.
Kemudian di sisi lain, masyarakat sekitar mendapatkan pendapatan lebih cepat dari adanya program rehabilitasi. Manusia-manusia yang terbiasa berinteraksi dengan lahan diajak untuk terlibat dalam kegiatan pembibitan dan penanaman. Jangka pendek, berimbas pada pengurangan angka pengangguran dan peningkatan pendapatan ekonomi bagi masyarakat. Selain itu, hak akses masyarakat pada sumberdaya hutan menjadi lebih jelas. Keterlibatan dari awal selain memberikan manfaat ekonomi, juga menghasilkan sisi saling percaya di kedua belah pihak pelaku program. Pengelolaan secara kolektif selanjutnya menghasilkan kekuatan kelembagaan dan meningkatkan budaya tradisional masyarakat setempat yang bermanfaat bagi ekosistem.
Tak lupa, edukasi yang berhasil telah memberikan pemahaman dan pengetahuan baru bagi masyarakat untuk merawat alam yang ada di sekitarnya. Pengetahuan tentang dampak dari rusaknya hutan akan menjadi penting, karena dari hutan yang ada di sekitar mereka air mengalir untuk mencukupi kebutuhan di rumah, beragam obat-obatan untuk anaknya yang demam dan tambahan penghasilan maupun pangan.
Bagian 3
Sampailah pada usulan alternatif solusi. Beberapa poin ditawarkan untuk dicoba demi perbaikan program rehabilitasi hutan dan lahan. Dimulai dari pendekatan inovatif yang sangat diperlukan untuk mencapai tujuan rehabilitasi, secara bersamaan juga memberikan manfaat sosial-ekonomi untuk perusahaan dan masyarakat. Yang cukup menarik adalah, rehabilitasi akan diarahkan pada daerah-daerah dengan destinasi wisata prioritas seperti Danau Toba, Mandalika, Borobudur, Labuan Bajo dan Likpa serta ibu kota baru di Kalimantan Timur. Selain juga dilakukan di 15 daerah aliran sungai prioritas, daerah rawan banjir dan tanah longsor serta daerah hulu dari 65 waduk.
Pada lahan kritis yang mungkin diberikan pada HTI (Hutan Tanaman Industri), perlu ada pengoptimalan pengembangan. Edukasi dan izin yang dipermudah akan menjadi jalan tol bagi para pengusaha untuk mengembangkan hutan tanaman. Namun, dengan tetap memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku yang tidak menanam, melainkan hanya menebang habis tegakan hutan yang tersisa dan dibiarkan. Tidak adanya permainan di belakang antara regulator dengan pengusaha menjadi harus untuk pengelolaan HTI dan penerapan regulasi.
Menatap hari esok yang lebih baik dibutuhkan instropeksi dan perbaikan setiap hari. Meluruskan niat dan visi yang mulai bergeser menjadi penting bagi para nahkoda yang membawa kapal nusantara ini berlayar. Satu dua alternatif solusi patut dicoba untuk memperbaiki ekosistem yang sedang tidak baik-baik saja.
Pekerjaan rumah yang banyak masih perlu dirampungkan, namun sedikit demi sedikit nantinya akan selesai dan tiba pada pemberhentian akhir bahwa Indonesia adalah rumah bagi semua makhluk yang dipayungi prinsip keadilan. Hutan adalah wahana bermain, pengetahuan, pendapatan dan religi, dengan tidak saling mengganggu satu sama lain. Wahana bermain bagi anak-anak penerus peradaban untuk memahami, menghayati dan mengkonservasi rimba nusantara.
Daftar Pustaka
UU №41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta.
Nawir, Ani Adiwinata, Murniati, Rumboko, Lukas. 2008. Rehabilitasi Hutan Di Indonesia Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih dari Tiga Dasawarsa?. CIFOR. Bogor.
https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/1723 (diakses 14 Mei 2020)
Permen LHK №2 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.105/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung, Pemberian Insentif, serta Pembinaan dan Pengendalian Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
https://mediaindonesia.com/read/detail/272233-rehabilitasi-hutan-dan-lahan-akan-serap-82-juta-tenaga-kerja diakses 14 Mei 2020