Bercerita Tentang Dia
Dia, hanyalah anak dari orang tua yang juga manusia. Seperti yang lain, tidak ada yang spesial, misalnya bisa terbang, atau menyelam di kedalaman 500 meter di bawah permukaan laut, atau yang lebih ekstrim berenang di kawah gunung berapi.
Ia hanyalah wanita biasa, biasa biasa saja. Kadang mengomel, untuk hal hal sepele dan mengingatkan akan kebaikan. Kadang cemberut, tanpa secara jujur tahu sebabnya. Marah marah, karena kita berdiskusi untuk hal hal sepele dan tidak penting.
Tidak ada yang spesial. Bukan hanya dia tapi saya. Seperti yang lain, laki laki dengan banyak kecuekan, susah dikabarin dan ngabarin, bawel, mungkin nggak terlalu. Peduli, bisa dihitung dengan jari sejak hubungan awal kita. Tapi kalau boleh jujur akan selalu ada waktu untuk memikirkanmu (re : dia), entah nantinya berujung doa, menanyakan kabar, atau menyapanya dengan bertitip salam pada langit biru.
Untuk hal-hal yang kemarin kemarin ini sama sama didiskusikan tentang ke depan dan masa depan nantinya bagaimana. Ehmmm baru tadi rasanya mendengar cerita dari orang tua bahwa kita lupa tentang jodoh, rejeki dan mati. Jadi, akan sedikit menyinggung Allah semisal kita membicarakan misalnya.
Kalau nanti kita gak berjodoh gimana?
Atau
Gimana nanti bila orang tua dari kita masing masing menjodohkan?
Mungkin benar , jika manusia hanya perlu rencana, yang nantinya diikhtiarkan (diusahakan), bagaimana hasilnya nanti sudah hak prerogatif Yang Di Atas Sana.
Terlebih, bukannya akan disayangkan jika kita hidup untuk kemarin dan untuk besok. Bukankah kita harus hidup untuk hari ini. Terlalu capek membayangkan hal hal yang ada di depan kita, dan sangat disayangkan jika energi kita habis untuk menyesali yang telah terjadi.
Akan menjadi adil, kita hidup untuk sekarang, besok adalah rencana yang kita buat untuk diajukan di meja Tuhan lewat doa. Dan yang telah terjadi adalah pengalaman untuk evaluasi diri.