Bintang Kecil yang Beterbangan Di Kamar
November hari keempat. Memastikan bahwa masih dengan baik bernafas. Sebab debu di kamar berukuran tak lebih besar dari 4 m x 3 m menjadi momok yang datang untuk tak diundang dan tak dijemput. Berapa kalipun dibersihkan, berapa kali juga tak pantang bagi anak cucu debu untuk mulai menggerayangi sudut-sudut kamar.
Kamar yang berisi kasur yang cukup keras karena nampaknya salah membeli. Jika seseorang pernah merasakan kasur springbed dengan dua lapisan yaitu lapisan atas dan bawah, mungkin bisa dirasakan bagaimana kasur bagian bawah yang digunakan hari demi hari. Ya, ketololan untuk membeli kasur. Lemari pakaian yang hilang pintunya. Lemari yang terbuat dari plastik, bawaan dari hegemoni sebagai mahasiswa baru di Jogja. Lemari yang terbagi menjadi tiga bagian atas, tengah dan bawah. Cukup menganga sebab atas dan tengah telah cukup terlihat syur. Berisi barang-barang bepergian jauh di bagian atas, sedang bagian tengah berisi pakaian yang didominasi oleh kaos dan celana dalam yang tertumpuk di bagian kiri depan belakang. Nampaknya yang lainnya juga hampir sama, yang jelas dengan debu yang pasti menempel. Barang apapun dan diletakkan di manapun.
Terkadang cukup takut dengan resiko pernafasan karena debu-debu milayaran yang berterbangan. Sarang laba-laba yang datang seminggu sekali setelah dibersihkan, dan rambut-rambut potongan entah milik pribadi atau tamu-tamu yang dipersilahkan ataupun tidak. Kamar dengan pintu yang jebol di bagian tengah bawah. Lain kali mungkin akan ada sesi untuk menceritakannya.
Ketakutan akan debu sebenarnya tak pernah lama. Karena sejenak memikirkan debu, hal-hal lain akan langsung datang silih berganti. Entah itu, celana dalam yang belum dicuci, tempat sampah yang penuh, dan sprei kamar yang belum ditata. Semuanya pasti akan ingat dan teringat bagaimanapun caranya. Beruntungnya, bahwa dengan begitu aku tak perlu terlalu lama diam dan termenung. Hal yang paling menyedihkan adalah diam dengan berwiridan hp untuk membuka story instagram. Aku telah menyepakati bahwa kegiatan itu adalah toxic. Kukurangi pelan-pelan.
Sekarang ada makhluk hidup yang kutambahkan di kamar. Sebuah cupang yang sendiri, atas nama terima kasih dan upah pemberian hasil jerih payah persahabatan teman dari Kediri. Sebuah cupang berenang nyaman di dalam botol iceland dengan batu batu aquarium berwarna hijau. Hanya, aku masih bingung memberikannya pakan. Nampaknya aku ingin membuatnya sehat dan beradaptasi dengan berpuasa satu atau dua hari. Tak tahu, atau mungkin aku akan kasihan melihatnya berenang tanpa energi.
Tentang debu di kamar itu masih wajar. Kamar yang tak pernah terkena sinar matahari secara langsung dan dipel sebulan sekali saat gabut adalah gambaran kamar dalam keniscayaan yang gagal. Namun dengan predikat yang telah disematkan, dengan mengatakan sebuah ruangan berbentuk persegi atau persegi panjang yang berisi kasur, lemari, meja, laptop, buku, lem paralon, resin, papan tulis putih, penghapus berwarna kuning, tulisan di dinding. Orang telah cukup ikhlas menyebutnya sebagai sebuah kamar. Aku cukup bangga dan bersyukur.