Boo Bi Duu Bii Duu

Ryan Prihantoro
1 min readAug 16, 2020

--

Terpapar lukisan berlumpur gradasi. Warna menjadi kata bercerita rasa dan histori. Menggeliat keluar dari kanvas menuju titik balik identitas seonggok manusia.

Lalu gundah gulana tersaji di balik tudung saji. Sebuah rumah kecil dengan dua kursi di bagian depan. Di bawahnya sepatu pantofel hitam tergeletak menunggu empunya datang. Sepeda tua menatapnya sepanjang malam. Sendu

Mata juga tak mampu bicara. Padanya hanya obrolan pada Tuhan di saat saat. Topi mewakili kilat detak jantung yang terus menggembung. Ia muncul di balik layar televisi dengan benang benang kusut. Begitu wajahnya. Komunikasi mengajarkannya mengerti sedikit dan banyak hal.

Matanya kemudian sayu. Ada cabai di oles pada kelopak. Menganga. Luka itu menitikkan air mata. Seperti pagi yang tiap hari tiba. Seperti kesedihan, itu hanyalah mata yang pedas dan panas. Sebab cabai.

Kotak suara mulai diputar terbalik. Merenggut waktu dengan barisan nada. Sebuah kanvas yang dicoret. Menggores warna, menilik makna. Padanya Ia berkata. Keren.

--

--

No responses yet