Fenomena : Sisi Lain Pandemi Di Tepi Bulevar Jogjakarta

Ryan Prihantoro
2 min readMay 14, 2020

--

Foto oleh : Rohmana Luthfi

Di masa pandemi ini semua orang terkena imbasnya. Ada yang senang dengan menjual alat kesehatan dengan harga tak sewajarnya. Bagi yang lain mungkin adalah derita yang diciptakan semesta, atau segelintir elit yang rakus atau kewibawaan.

Yang jelas, karena corona banyak yang sekarang duduk-duduk di trotoar sekeliling UGM. Ada anak yang menjual tisu, tak memakai sandal, wajahnya kusam, bercelana pendek, berbaju seadanya, ia seorang cewek. Ibunya, juga ikut serta. Duduk di bagian trotoar dekat dengan lampu bangjo.

Saat lampu itu merah, si gadis yang mungkin baru berumur belasan tahun atau bahkan kurang, menjajakan dagangannya pada mobil-mobil yang terjebak lampu merah. Menawarkan, atau sekedar berdiri di depan pintu sopir. Sampai barangkali rasa iba muncul dari sang pengemudi.

Saat rasa iba tak kunjung tiba, ia berganti pada pintu mobil yang lain. Menjajakan dagangannya. Ada yang beli, atas dasar kasihan. Beberapa pengendara lain, mencoba melirik. Menyaksikan, dengan berasumsi macam-macam. Isi otak dan latar belakang sosial mereka berbeda beda. Maka opini yang dibatin atau nanti diceritakan saat sampai kosan juga tak cukup mampu dibenar salahkan.

Di bulan penuh berkah selama 30 hari ini, semua orang mencoba berbuat kebaikan. Saling memberi, dengan niat bermacam-macam. Memberikan sebungkus nasi untuk berbuka puasa misalnya. Kebaikan yang tak mungkin dilarang rasanya.

Itupun di temukan di trotoar sekeliling UGM. Membagi-bagikan nasi, dengan pasangan, teman cewek, keluarga atau club-club dan komunitasnya. Si gadis juga mengerti arti sebuah pemberian. Walaupun lampu merah, ia tak menjajakan dagangannya, seketika. Buru-buru berlari, mengejar sebuah harapan. Untuk sembako atau sebungkus nasi dari sang dermawan yang membagikan nasi bersama pasangan. Tangan kanan yang membawa tisu, cepat cepat berubah menjadi tangan peminta. Tisu itu dimasukan di sela ketiak, tangan kanannya mencoba meraih sebuah pemberian.

Raut muka yang cemas. Takut saat Ia tak mendapatkan apapun di sana. Ia sudah meninggalkan satu lampu merah hanya demi sebuah pemberian. Akan malang nasibnya jika jatah pemberian itu habis dan Ia hanya membawa kembali raut muka penyesalan.

Saat itu Tuhan menghadiahkan sebungkus nasi untuk si Gadis. Bukan sembako. Ia tak pulang, kembali ke pangkalan di bawah tiang lampu merah dengan penyesalan. Ditangannya telah ada dua benda, tisu dan plastik warna putih berisi sebungkus nasi.

Buru-buru kembali dan terlebih dahulu meletakkan barang dagangannya. Sedikit bergeser dan membuka plastik putih yang lain, yang telah ada di sana sejak tadi. Memasukkan sebungkus nasi yang kotak ke dalam plastik putih.

Sekarang Ia telah memiliki nasi kotak ketiganya hari ini. Dua berasal dari pemberian orang lain sebelumnya. Wanita tua berkerudung yang ia panggil dengan “Mak” kembali. Ia juga membawa sebungkus nasi kotak yang sama.

Memasukannya di plastik putih dan hari ini empat nasi kotak telah menjadi hak miliknya yang utuh. Di mana negara tak bisa mengambil itu darinya.

--

--

No responses yet