Garis

Ryan Prihantoro
1 min readJan 11, 2021

--

Di bayangan siluet yang memudar, paras itu tak kan lenyap begitu saja. Dia berada dalam satu sudut ruangan remang yang tak bisa dijamah oleh tangan siapapun. Terpatri sembari mengiringi langkah-langkah yang mulai gontai dengan hujan yang kembali turun. Hati masih panas dan semesta melihatnya menggigil kedinginan.

Otaknya tak lagi beku, beban pikiran dirinya sendiri terus menusuk kepala sebesar bola. Sesekali, ingin rasanya dilepas dan ditendang sampai tak terlihat. Menjauh terbang memecah awan dan meledak.

Hapuslah, hapus kenangan itu. Bukankah manusia terlalu tercekik kenangan. Atau tercekik pemikirannya sendiri. Padahal, nyatanya. Hidup akan selalu biasa-biasa saja. Perspektifmu yang membunuhmu seketika.

Tapi, tak apalah. Masih menormalkan diri di tengah hiruk pikuk kesintingan. Ada yang melata dan lidahnya menjulur mencari kertas yang bernilai angka. Ada yang menggantung di jendela dan gedung gedung kota. Tak ada lagi waktu, matanya penuh. Kertas yang diberi angka.

Maka, malam sudah larut. Agaknya serotonin sedang tidak bekerja dengan baik. Bahasamu mulai ngelantur. Istirahatmu tak akan pernah cukup. Hanya rasa yang menjadi alasan untuk menikmati hidup, bukan? Lainnya, rasanya biasa saja. Hanya kadang takut saja bahwa hidup dengan hampa. Tapi, dari hati kecil akan selalu tumbuh pengingat, bukan? Bahwa sebaik baiknya manusia adalah berguna untuk yang lainnya. Migunani tumrap liyan. Cukup ya. Dituliskan, dan takut itu hilangkan.

(Januari, 2021)

--

--

No responses yet