Ia Tua dan Malang
Akan tiba saatnya si Tua itu keluar dari papan kayu yang ia sebut dengan amben. Badannya makin kurus sejak Jepang pergi dari desa yang sepenuhnya diisi oleh petani dan seorang kepala desa. Jangan tanya raut wajahnya, hanya kemalangan yang akan hadir di tiap kerut wajah tua itu.
Anaknya telah lama pergi, bukan untuk disengaja, melainkan dibawa truk truk beroda yang dikawal prajurit Nippon sipit bersenjata. Yang Ia ingat dari anaknya adalah pertengkaran hebat dikala si anak ingin menikahi seorang perempuan desa tetangga.
Bukannya ingin menolak, tapi apa dikata nanti, bahwa si anak perempuan adalah anak saudagar yang tak pernah keluar dari kemelaratan.
Ia tak ingin melarang anak semata wayangnya untuk bahagia. Sejak istrinya diperkosa dan dibawa pergi oleh bajingan bajingan sewaan Jepang, dagu anaknya tak pernah tegak barang beberapa centi.
Itu masih untung, setelah ada kabar bahwa istrinya dibunuh dan dibuang ke sungai tak jauh dari kota, si anak lebih banyak mengurung diri.
Sebagai orang tua, Ia ingin melihat anaknya tumbuh dewasa dengan gagah dan bahagia. Tapi apa dikata, takdir selalu menuliskan inti cerita di tiap pagi. Belum juga Ia benar benar bisa menghapus kenangan pahit nasib istrinya, anaknya semata wayang, diseret dari rumah dengan ditendang dan dipukul popor senjata.
Tangisnya mungkin telah habis, air mata itu benar benar kering. Sekarang, di usia tuanya. Ia ingin menjemput kematian dengan lebih tenang. MenghadapNya dengan malu malu dan sungkan.
Menyepakati dan berdamai dengan hidup melalui celah nasib yang tak pernah benar.
Kemudian, Ia ingin sekarat dengan melihat awan yang masih biru. Daun yang hijau dan rambut keriting. Tibanya nanti, kain kafannya ingin Ia jahit sendiri.
Tanjung Selor, Kaltara
14 Juli 2023
Ditulis di sela sela saat badminton di SP 2. Dekat kantor Polsek dan angin malam yang cukup kencang. Nampaknya akan hujan.