Ia Yatim Piatu dan Derita Mengiringi
Bayangannya menemani di bawah ketiak. Ikut berlari, dengan tegopoh-gopoh. Bibirnya gemetar dengan raut wajah suram. Bukan tentang hutang melainkan nasib yang tak kunjung menyertainya. Terik juga sangat panas membakar ubun ubun, sepertinya otaknya akan menguap. Namun sayang, ia masih bernafas dengan nafas keledai. Terdengar suara Ngiis ngiis dan kelaparan.
Ia tak mengejar apa apa, sebab di depannya adalah khayalan kosong tak berpenghuni. Menggerutu di saat malam dan paginya adalah kemarin yang terulang. Hanya bocah yang menginjak masa remaja seperti sebaya. Hanya saja semesta tak dipelukannya saat ini.
Tak ada yang mengenalnya selain kesialan. Ia hidup di tengah kehampaan dan putus asa. Sepertinya ada takdir yang salah pilih saat pembagian jatah oleh Tuhan. Sedang Ia hanya pasrah, dicaci, dibulli, menerima nasib dan seorang yatim piatu.
Tak ada yang peduli di atas kasur yang berjejer 10. Di panti asuhan, keluarganya hanyalah satu kucing dan beberapa laba laba yang bersarang di bawah jendela aula. Mereka cukup tahu akan deritanya di sepertiga malam dan mereka memahami arti pertemanan dua makhluk yang berbeda.
Tangisannya adalah tangisan yang diisi dengan doa penuh harapan. Teman teman yang lupa dalam sehari saja tak menyiksanya, Ibu panti yang memberinya makanan basi, layaknya makanan pada umunya, dan tamu panti yang tak mau memandang tubuhnya yang dekil.
Tanpa sadar hidupnya adalah beban, katanya. Makan layaknya binatang, buang air besar yang diburu-buru. Beruntung saat ia dapat menggunakan WC tanpa tekanan yang lain. Atau bersyukur jika di kamar mandi hanya perlu menyiram kloset, tanpa perlu kepalanya dicelup celupkan ke kolam air oleh yang lain.
Ia sadar, garis nasib berbicara jelas untuk umurnya yang baru belasan. Ia jelas, bahwa anak yang tak diharapkan karena orangtuanya meninggalkannya di depan panti asuhan dan menitipkan satu surat berisi.
“Jika pihak panti mau mengurusnya, uruslah. Jika tidak, kalian bisa memberikannya pada anjing yang lapar”
Karena itu, semua pengasuh panti tak pernah tahu siapa orangtuanya dan menjelaskan padanya bahwa Ia yatim piatu. Hidup sebatang kara tanpa kasih sayang orang tua, layaknya yang lain.
Tak ada cinta dalam kamus hariannya, apalagi kasih sayang. Hanyalah bualan untuk orang orang yang terkasihi, sedang Ia adalah makhluk sisa yang lupa untuk diberi nyawa.
Cerita ini dulu, kemarin Ia sudah duduk di kursi direktur sebuah perusahaan penyedia jasa wisata. Terkadang ingatan pahit itu masih suka bersliweran, cukup mengganggu.
Ia membayar deritanya di masa lampau dengan apa yang ia nikmati dihari ini. Menurutnya hidup adalah teka teki yang perlu diisi, puzzle yang perlu dirangkai sesuai bentuk dan posisi hati nurani dan menghantarkannya di posisi sekarang adalah senjata yang ia namakan kerja keras.