Ife : Jikalau Mimpi dan Mencret

Ryan Prihantoro
3 min readNov 6, 2019

--

Bercak itu tertempel dan menyebar di sekitar . Mereka merasa asing telah keluar ke dunia yang dingin. Hanyalah tangis yang tersisa.

Selepas melewatkan pagi, agenda kuliah berjalan kembali seperti hari kemarin. Mengenakan baju yang lain kembali, agar tak terlihat sama di mata teman-teman. Takut muncul stigma “bajunya kok itu itu aja”.

Jarak kosku tak sejauh bulan dan bumi, namun juga tak sedekat lima langkah dari rumah. Lemparan lembing atlit olimpiade rata-rata mungkin adalah jarak yang pas untuk memperkirakan jarak dari sandal di depan pintu kosan dengan gerbang kampus yang dijaga bapak-bapak berbaju Biru.

Sartife atau Ife nama panggilanku, beberapa memanggil Ifi. Entahlah dan aku merasa suka di panggil dengan nama yang tak biasa. Duduk sebagai mahasiswa dengan kondisi yang normal. Cerita tentang hariku.

Berlalu seperti biasanya, tanpa ada apa-apa yang menakjubkan. Bertemu dengan orang yang sama. Berjalan ke kantin dengan menu yang tetap sama. Bercanda dengan jokes yang diambil dari twitter atau meme di media sosial lain, atau sekedar menggosipkan orang-orang yang cukup lazis di gosipkan hari ini. Berjalan selayaknya dengan langit yang cerah.

Mendatangi pintu ruangan. Tepat pukul 11.00 WIB Aku ada kelas. Kelas dengan nuansa yang pernah kurasakan sebelumnya. Sebab kali ini, dosen itu lagi yang mengajar. Aku duduk di bangku pojok kanan tengah-tengah. Kondisi kelas ini terdapat papan tulis berbentuk persegi panjang di depan. Kursi yang ditata dan dibagi dua dengan tengah-tengah diberi sekat untuk leluasa berjalan. Posisi dudukku akan sangat jelas dilihat dosen, karena lurus dengan tempat duduk dosen yang berada di pojok kanan bawah papan tulis. Bukkan hari ini rencanaku menghindar dari dosen ini.

Sangat ramah, beliau membeberkan beberapa materi. Hal yang tak cukup menarik sebenarnya apa yang disampaikan, hanya saja pembawaan dan gesture tubuh dengan perawakan tamvan dan postur dada yang bidang. Hasilnya, kelas menjadi tempat bermain untuk mahasiswa yang bermain dengan nama-nama benda yang dibahasakan kimia dan zat-zat makanan dengan nama nama aneh.

Ada sesuatu di perutku yang tak beres. Layaknya bola-bola gelembung yang terbentuk di kawah gunung. Perutku mulai tak beres, aku merasakan mual di mulut sembari mules di perut. Bebarengan. Mimik wajahku sudah jelas tak wajar. Namun, kucoba bersikap biasa dan sewajarnya. 15 detik kemudian serasa ada yang tak kuat lagi di tahan. Aku muntah di dalam kelas. Sayur yang sudah hancur, bercampur kuning telur yang lebih mirip bubur, dan cairan berwarna ungu yang begitu bau. Entahlah hasil olahan dari makanan apa yang sudah kumakan.

Kepalaku menunduk selepas mengeluarkan isi perut. Kucoba perlahan kunaikkan kepala yang terasa berat. Tak ada seorangpun di kelas. Kelas menjadi kosong. Papan tulis masih dengan coretan nama nama aneh yang dituliskan dosen. Pensil dan bolpoin kawan yang duduk di sampingku juga masih ada, tas tak ada satupun yang menghilang. Hanya pemiliknya yang entah tiba-tiba menghilang ke mana. Kucoba berdiri dan berjalan keluar. Rasa-rasanya jadi sunyi. Kondisi luar menjadi sore dengan nuansa mentari sore yang hangat.

Aku berteriak memanggil-manggil. Suara angin yang menghembuskan daun pinang yang bergesekan menjawab dengan malas. Beberapa kali kuulangi, namun tetap tanpa jawaban. Karena kepalaku tiba-tiba pusing lagi, aku balik ke arah kursiku tadi. Walaupun kulihat di depannya masih terhampar mutahan tadi. Aku duduk payah, meluruskan kaki. Mencoba mengambil tisu di tas dan membersihkan mulutku yang masih tertempel beberapa sisa mutahan. Membersihkan cipratan mutahan di sepatu sambil menunduk.

Namun, dengan sangat pelan aku mendengar suara-suara orang mengobrol dan ramai. Aku mencari di mana suara itu. Saat aku akan berdiri suara itu menjadi semakin tak terdengar dan lama kelamaan menghilang. Kucari lagi, dan kupikir suara itu berasal dari ceceran mutahanku tadi.

Seketika kudekati mutahan yang makin bau itu. Kulihat dan teliti satu persatu. Sampai akhirnya suara itu semakin jelas terdengar di mutahan yang berwarna ungu. Karena penasaran, handphone yang berada di saku kanan ku ambil. Menyalakan lampu flash HP dan menyoroti bintik-bintik yang ada di mutahan. Dan ternyata dengan sangat jelas kulihat itu adalah diriku telanjang. Aku sedang duduk dan menangis. Di sebelahku berdiri seseorang yang mengajakku berbicara. Beberapa detik kemudian secara bersama-sama mereka melihat ke arahku.

Aku terbangun di atas closet duduk dengan perut mencret dan pup mirip jus mangga.

--

--

No responses yet