Jadi Hidup Adalah Membuat Kenangan Bersama atau Mengetahui Banyak Hal?
02.47
Belum tidur. Setelah sekian banyak video yang saya lihat. Beberapa video terjadi di masa lampau. Kenangan-kenangan mengenai praktek kampus, yang dilakukan di kontrakan, di Jogja. Melihat video milik orang lain di kaki Gunung Merapi. Menarasikan persahabatan.
Makin banyak video-makin gamblang juga pertanyaan tadi melintas, mengakar dan cukup mengganggu. Tanpa mencari sumber dan sedang memang tidak ingin membaca ulasan orang lain mengenai ini.
Sebuah tulisan yang lahir menjadi opini. Sangat-sangat subjektif, dan bersifat ke-aku-an yang mutlak.
Bertemu banyak teman, membentuk sebuah kesan, karena suatu perjalanan, berkegiatan bersama, menyelesaikan mini project, bersuka ria, dan sambat bareng. Untuk sepersekian waktu, tempo saat itu kembali mencuat, menerkam garis pikiran. Terletak dan tercetak bersama kopi yang tersisa ampas, sebuah jeruk yang layu dan kesendirian.
Begitu menyenangkan untuk diingat, ya kesederhanaan juga cukup menjadi alasan menenangkan atau bisa dibilang bahagia. Kemudian, muncul buah pikir bahwa hidup untuk hari ini dan melakukan banyak-banyak kegiatan bersama manusia yang lain.
Tapi, ada juga ketakutan yang hadir. Bagaimana jika nantinya orang tersebut sudah tidak bersama kita lagi. Mungkin Ia sudah bepergian jauh, menjadi dewasa dan memiliki kesibukan dengan hidupnya, intinya dalam fase di mana keduanya tidak lagi bisa melakukan ini itu bersama. Pulang, memisahkan masing-masing di antara kesenjangan waktu yang panjang.
Atau membaca dan mempelajari banyak hal. Mempersiapkan hari esok, merencanakan di kemudian hari untuk kejadian-kejadian tak terduga. Dalam bahasa sederhana yaitu menjadi pragmatis. Mengurangi ketidaktahuan, mereduksi abstraksi yang perlu diterjemahkan dalam bahasa yang mudah dipahami. Dengan mengetahui banyak hal.
Tapi, kemudian ada ketakutan kembali. Bahwa umur yang ada setelah mengetahui banyak tidak ada yang bisa dilakukan bersama. Karena masing-masing telah punya rencana pada kehidupan masing-masing. Waktu yang ada terbuang dengan mengisi gelas yang kosong.
Seperti rumus matematika yang butuh pemahaman dan percobaan berulang-ulang untuk benar-benar paham dan mengingat di luar kepala. Keduanya menjadi pertanyaan yang tumbuh di atas media obrolan neuron-neuron otak. Tak memperdebatkannya, hanya saja sebisa mungkin masing-masing menjawab dengan versinya sendiri.
Seperti rumus-rumus bilangan yang rumit. Sama dengan pilihan ini ditentukan untuk nantinya diputuskan pengalaman, terpaan lingkungan, keseharian, dan tanpa dipikirkan. Ya, mungkin yang paling jelas adalah tidak memikirkannya. Menjadikannya ada, hanya saja dengan sedikit energi untuk mencoba menjawabnya. Membiarkan menjadi pertanyaan yang tanpa jawaban. Membungkusnya dalam plastik kecil, menciptakan kapal kertas dan dilarungkan dalam sungai kecil. Hanyut dan akan tetap ada, entah nantinya tenggelam, tergerus air, jeram atau bahkan akan tetap sama sampai tibanya di samudera.
Terima kasih.