Jatuh Cinta Sepatu
Ia menatap malu awalnya. Namun, kurasa itu hanya sebentar. Setelah Ia tahu, tatapan itu berubah menjadi nyinyiran dan ejekan. Memang menjengkelkan berhadapan dengan galon yang masih terisi separuh ini.
Namun, karena itu kita menjadi akrab, di ruangan yang barangkali memiliki kamera tersembunyi atau disadap ini, kami membunuh waktu. Ceritanya tak pernah sama, membicarakan tentang anaknya yang mati dimutilasi. Katanya, atas nama konservasi yang Ia gaungkan, berujung pada nasib tragis istri dan anaknya. Dicincang di depan mata kepalanya sendiri.
Lain lagi dengan sepasang sepatu biru. Mereka terlampau dekat untuk dibilang sahabat. Menjelajah hamparan tanah, berdua dan sepertinya lelah tak ada dalam kamus mereka. Yang sering kudengar, tak pernah ada kesedihan saat mereka bertamu di mana saja. Menciptakan suasana kegembiraan dan menjadi sepasang sepatu yang menyenangkan.
Dulu, aku pernah ingin bertanya, apakah mereka adalah sepasang kekasih. Tapi, sayangnya pertanyaan itu hanya sampai tenggorokan. Yang kudengar dengar dari tisu yang bergumpal ingus bahwa gosip di khalayak ramai, sepasang sepatu ini tidak meromantisasi kisah cintanya. Pernah ada yang bilang bahwa ada yang jatuh cinta, tapi sebab keadaan sampai sekarang mereka berdua hanya sama sama tahu rasa masing-masing.
Saat aku bertanya pada kipas yang suaranya terkadang cukup mengganggu, bahwa sepasang sepatu ini bukanlah kekasih. Salah satunya pernah menyatakan perasaan, tapi entah bagaimana setelah itu, mereka tetap bukanlah sepasang kekasih. Dan belum lama dari hari ini, sepatu sisi kanan bercerita pada kipas angin tentang hubungan keduanya. Mereka bukanlah sepasang kekasih, hanyalah sepatu yang diciptakan untuk kaki kanan dan satu sepatu lagi diciptakan untuk kaki kiri.
Ia juga menambahkan bahwa tak masalah dengan hal itu, bagaimana cara kerja semesta menjadikan seperti itu. Kehidupannya sangat bersyukur telah dipertemukan dengan sisi sepatu yang satunya. Di antara banyak sepatu yang lain, Ia telah cukup memberi banyak warna dalam hidupnya, menjajaki tempat di manapun sang pemilik melangkah, berputar mengelilingi sebuah telaga, melihat botol berisi batu yang saling dilempar, menatap manusia menguliti biji dan melemparkannya, Pak Haji yang memasukkan uang di kotak amal, dan bercengkerama dengan banyak benda bersama.
Terakhir, kata sisi sepatu sebelah kanan pada kipas angin bahwa mungkin memang mereka tidak ditakdirkan bersatu, karena memang yang satu sebelah kanan dan satunya lagi sebelah kiri, hanya cukup bersama di saat sang pemilik ingin memakai, memiliki tali masing masing dan tak akan bisa digunakan dengan baik saat tali itu disatukan saat sang pemilik memakainya. Hanya saling melirik saat kaki kanan sang pemilik melangkah.
Takdir sepasang sepatu yang bukan kekasih ini hanyalah sebagai alas bagi sang pemilik saat bepergian. Yang tadinya masih baru dan kemudian kotor dan usang dicekik waktu. Namun, disaat takdir mereka hanyalah seperti itu, tak ada nikmat yang mereka ingin dustakan dari sebuah takdir yang diamanahkan padanya.
Begitu panjang lebar cerita mereka. Saling mengejek, menertawakan keadaan, merangkak pemikiran pemikiran liar, menjuntai akalnya sampai ubun ubun terasa panas, menghabiskan teh panas, berdiam sejenak, memandang salah satu saat makan. Semua dilakukan disaat mereka adalah sepasang sepatu yang diciptakan kanan dan kiri. Sepasang karena memang diciptakan untuk digunakan seperti itu, bukan sepasang dengan konotasi lainnya. Untuk saling mengisi kaki sang pemilik, agar terlihat estetis dan nyaman digunakan.
Yogyakarta, 2020