Kebahagiaan Menyantap Mie Ayam dengan Lalat Beterbangan Di mana-mana
Anak dan Bapak yang berdiri di samping jalan. Membeli mie ayam.
Tempat makan ini biasa. Tak ada berbeda dari kebanyakan warung mie ayam di desa-desa. Tak ada kesan pertama. Karena memang perut sudah teramat lapar.
Kami masuk dan memesan. Tapi, kami mulai sedikit merasa terganggu saat sudah masuk ke dalam. Beberapa gelas, sendok, garpu, sumpit dan peralatan makan lain terlihat penuh dengan bintik-bintik hitam yang bersayap. Mereka terbang ke sana kemari dan kembali lagi beberapa saat.
Begitu menjijikkan melihat lalat yang begitu banyak di peralatan makan. Cukup mual memperhatikan bakteri-bakteri yang ditempelkan oleh makhluk bersayap yang membawa banyak bakteri. Tak ada alasan lain untuk tidak. Begitupun, tak ada alasan lain untuk mengiyakan, sebab cukup menyebalkan menyaksikan bakteri bakteri itu mengejek, dan nantinya masuk ke tubuh kita lewat mulut.
Tapi, lapar. Ya cukup lapar dan enggan menolak semangkok mi ayam di siang hari. Melewati pagi dan menghabiskan tenaga dengan memperhatikan pola pola tanam di lahan. Terik menghabiskan tenaga dan energi, cukup untuk menyelesaikan setengah hari dengan perut lapar.
Segera, tanpa berpikir lama. Semangkok mi ayam lahap tak tersisa. Pikiran tentang lalat samar samar menghilang saat suapan pertama masuk ke mulut. Berangsur hilang seterusnya sampai isi mangkok hanya tersisa wadahnya.
Lalat kembali teringat saat kuletakkan sumpit di atas mangkok. Daripada rasa mual nantinya datang, mengangkat badan dan segera keluar. Mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Mengusir jauh jauh pikiran tentang makhluk kecil bersayap.
Rokok menyala, baru beberapa centi terbakar. Seorang anak keluar mengikuti seorang pria di depannya dari warung ayam. Ia mengikut di belakang dengan jarak 1 m, memandang mandang sekitar. Beberapa detik Ia pun menengok ke arahku. Aku melihatnya, mungkin sama sama berperasa karena melihat satu sama lain. Beberapa detik kemudian Ia telah dipanggil Bapaknya yang selesai membayar dua mangkok, makan siang dan perjalanan hadiah. Ya, perjalanan hadiah karena aku baru ingat kalau tanggal itu adalah tanggal muda, yang sangat mungkin kalau bapaknya baru saja gajian. Sekalian membayar janji pada anaknya yang telah dijanjikan lama, sekaligus Ia ingin merasakan makanan yang tidak seperti biasa, walaupun itu hanyalah semangkuk mie ayam dengan lalat tersebar di mana mana.
Perspektifku berubah, sebab melihat adik ini yang mungkin baru berumur 6 atau 7 tahun. Ia begitu sumringah diajak menyantap di luar rumah. Seperti ada liburan di hari minggu siang, saat Ia libur sekolah. Mungkin, makan mie ayam dengan Bapaknya di kampung sebelah tak bisa diceritakan bangga dengan teman teman di kelasnya. Namun, aku melihat rasa senang yang keluar dari wajahnya menandakan kepuasan yang lebih dari sekedar perjalanan yang dipamerkan di kelas.
Adik kecil itu menyeberang dengan digandeng tangan oleh Bapaknya. Langkahnya tak gontai juga tak terburu buru. Rasa rasanya badan kecil itu enteng, lega dan bangga. Enteng karena ada kepuasan batin yang terbayarkan, lega karena mungkin menyantap mie ayam ini adalah santapan yang diidam-idamkan dan bangga sebab memiliki seorang Bapak yang sangat patut dijadikan idola. Memberikan santapan mie ayam dengan lalat beterbangan di mana mana pada siang hari di hari Minggu saat libur sekolah.
Terakhir, sebelum dia naik angkot untuk pulang. Sempat setengah detik memandangku, aku yang daritadi mengamati cukup kaget. Tapi, sepersekian detik itu seperti beberapa menit darinya untuk menyampaikan
“Hidup adalah hidup. Semua orang merasakannya, dalam perjalanannya tinggal bagaimana kamu memandang.”
Seketika itu, rasa mual yang kurasakan daritadi mendadak hilang. Hilang juga adik kecil dan Bapaknya di hadapanku. Semoga sehat-sehat adik kecil dan Bapaknya. Terima kasih telah mengajarkan tentang remah remah kehidupan.