Matanya Menangis, Bibirnya Tersenyum

Ryan Prihantoro
1 min readJul 10, 2020

--

Langkah kakinya gontai. Menyusuri tepian jalan aspal yang panas terbakar sengatan matahari.

Tubuhnya pun sama, gosong dan mulai berubah menjadi hitam legam. Pantas, tak ada penutup di kepalanya. Cukup rambut ikal yang beranjak gondrong.

“Rasa-rasanya tak ada yang dilakukan.” Pikirnya, sambil tetap melangkah menuju warung di sudut perempatan. Namun, merahnya darah masih tercetak pekat di pelupuk mata.

Ia yakin betul bahwa yang Ia tatap bukanlah fatamorgana. Darah itu masih segar, cair dan tercecer menjadi sebuah kubangan di lantai. Jalan menuju dapur.

Plavon itu memang jebol. Dan ada potongan badan ular yang menggantung. Tak ditemukan kepala ular itu, hanya tersisa potongan badan yang masih menggantung dengan darah mengalir menetes darinya.

Ujung dari ular yang bercorak batik itupun juga tak terlihat. Tak ada keinginan menyentuh, melihat saja sudah cukup membuat bulu kuduknya merinding.

Seorang wanita memanggilnya. Lantas menyuruhnya pergi ke warung. Membeli garam 2 kilogram.

--

--

No responses yet