Menanam Di Lahan Basah? Sepertinya Konyol
Sebuah Disclaimer
Tulisan ini bukanlah petunjuk yang dilengkapi dengan tahap-tahap dan nomor. Isi didalamnya berupa pengalaman pribadi laku dan pengalaman pribadi pikir. Tanpa ada tendensi benar dan salah. Kalimat-kalimat penuh makna dan tanpa makna adalah suatu rangkaian. Sebuah keabsahan yang diamini karena telah terjadi. Menjadi masa lampau yang cukup untuk dikenang dan sebagai bahan pembelajaran, di saat mentari terbit di esok hari.
“Orang yang tidak memiliki rasa sejarah. Adalah ibarat orang yang tak memiliki mata dan telinga" Adolf Hitler
Membicarakan niti laku dari hari hari yang telah terlewat. Menjadi refleksi batin untuk membuka kembali kesalahan, ketotolan, kebodohan, rasa pasrah dan motivasi tinggi untuk berani mengambil keputusan. Minimal di saat sekarang pada hari ini. Pun tentang esok atau lusa yang masih misteri.
Tak pernah terpikir bahwa saya dilahirkan dan diumur sekarang beranjak dewasa untuk mengawal kisah pribadi di negeri Borneo. Pijakan kaki pertama adalah pilihan saat mengambil KKN di Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Sebuah Kecamatan yang berbatasan langsung dengan negeri seberang Malaysia, kita sebutnya sekarang. Waktu itu, 50 hari yang menyenangkan. Berdinamika dan diakhiri tangis perpisahan untuk waktu dan kenangan yang telah dihabiskan bersama. Nek Lina, Abah dan keluarga yang mempersilahkan kami menumpang, adalah satu dari banyak saudara baru yang kami temukan. Semoga sehat sehat kalian semuanya. Nanti, barangkali akan ada edisi tulisan khusus untuk mengingat tempo KKN di pertengahan tahun 2019.
Kembali ke niti laku, bahwa ucapan :
“semua yang telah minum dari air Sungai Kapuas nantinya akan kembali lagi ke pulau ini”
Benar adanya, di tahun 2020, terhitung kurang dari 1 tahun. Langkah kaki dimulai lagi untuk menapak area dengan lahan gambut yang cukup luas ini. Dimulai perjalanan proyek Paludikultur dari BRG atau (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) BRGM disebutnya sekarang sampai mencicipi dunia perusahaan di Sinar Mas Forestry di Kalteng.
Perjalanan paludikultur dimulai dari Kota Pangkalan Bun untuk menyusuri beberapa desa yang potensial dijadikan percontohan kegiatan paludikultur sampai di Kabupaten Seruyan, tepatnya di Desa Pematang Limau. Di mana potensi tanaman pertanian dan kehutanan yang ditanam bersamaan dalam satu hamparan, menjadi contoh desain kegiatan paludikultur yang patut digali.
Sebelumnya, dilansir dari Konsorsium Paludikultur Indonesia, paludikultur berasal dari bahasa latin “palus” yang berarti rawa dan “kultur” yang diartikan sebagai budidaya. Secara jangkep paludikultur bisa dimaknai sebagai budidaya tanaman yang tahan terhadap genangan atau lahan basah, yang menghasilkan biomassa tanpa berdampak negatif terhadap gambut itu sendiri. Sebuah sudut pandang dan teori yang menarik dan patut untuk ditelaah. Konsep budidaya tanpa perlu membuat kanal pengeringan, dengan tetap membiarkan lahan gambut basah sesuai dengan kondisi hidrologisnya.
Kemudian pertanyaannya apakah ada vegetasi yang mampu hidup di areal tersebut? Jawabannya, ya ada. Terhitung ada sekitar 1376 spesies yang mampu dibudidayakan secara paludikultur, dan lebih kurang 534 spesies memiliki potensi ekonomi dan bermanfaat langsung bagi manusia khususnya petani.
Beberapa contoh vegetasi yang bisa dibudidayakan seperti sagu (Metroxylon sagu), purun (Lepironia articulata) yang dimanfaatkan sebagai bahan baku tikar anyaman, dari tanaman pertanian ada kangkung atau bayam air (Ipomea aquatica), terakhir salah satu contoh tanaman dengan nilai komersial tinggi adalah gaharu (Aquilaria beccariana). Di mana kita bersama tahu bahwa harga gaharu di pasaran mampu mencapai angka Rp300.000 untuk kualitas yang rendah dan Rp10 juta sampai Rp35 juta untuk kualitas tinggi per kg.
Di tengah potensial yang tinggi secara ekonomi dan manfaat ekologi yang cukup bagus bagi penerapan konsep paludikultur.Di lapangan masih tetap ada tantangan yang menarik. Seperti misalnya, areal paludikultur yang tergenang cukup tinggi terkadang menghambat untuk penanaman tanaman tertentu, walaupun di lapangan sudah ada alternatif lain yaitu agrosilvofishery. Tetap edukasi dan sosialisasi mengenai konsep dan alternatif ini belum tersampaikan dengan baik di stakeholder yang menjadi pelaku utama yaitu petani.
Namun, cita-cita setinggi langit tetap digantungkan pada konsep paludikultur. Optimisme menghadapi tantangan, diselimuti dengan pengetahuan dan teknologi, sharing knowledge dan gayung bersambut dari setiap stakeholder nampaknya akan berbuah manis di masa yang akan datang.
Tinggal sekarang, pertanyaannya hal kecil apa yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi pada konsep-konsep yang menarik seperti ini. Mari sejenak kita menundukkan kepala, merenung dan berdoa. Kemudian just do it untuk berkontribusi pada hal baik.
Terakhir, satu kalimat yang terus terngiang cukup lama adalah panjang umur upaya-upaya baik. Seperti yang sering disampaikan seorang yang keren yaitu Wisnu Nugroho (Pemimpin Redaksi Kompas.Com)
Terima kasih.
Pangkalan Bun
26 April 2022
Sumber :
http://paludiculture.org/paludikultur/ (Diakses 26 April 2022)
https://indonesia.wetlands.org/id/berita/paludikultur-memanfaatkan-lahan-gambut-agar-selalu-basah/ (Diakses 26 April 2022)
https://wri-indonesia.org/sites/default/files/WRI%20Paludikultur%20Sep%202018%20B%20v2.1%20AR.jpg (Diakses 26 April 2022)
https://www.rumah.com/panduan-properti/kayu-gaharu-40978 (Diakses 26 April 2022)
https://indonesia.wetlands.org/id/berita/paludikultur-praktik-lama-yang-terlupakan/ (Diakses 26 April 2022)