Menanam Pohon Di Mars
Sebuah meteor jatuh tepat melintas di atas kepala. Malam ini bintang lupa untuk ngopi. Di atas rumput yang basah setelah hujan, kakinya ditekuk sebelah dan sebelahnya lagi diluruskan. Bagian bawah celananya juga mulai basah, sisa hujan di saat petang.
Warna kaosnya berwarna kuning. Beberapa hari ini lagu yang didengarnya adalah album “Yellow”, lagu dari band Jepang One Ok Rock. Ia menyepakati bahwa suasana hati tak ingin dibuat manja. Beriringan dengan lagu melankolis dan mendayu dayu. Risih, pikirnya.
Begitulah kesombongan diri selalu muncul dalam daftar lagu mingguannya. Bukan pemain alat musik yang handal dan tak memiliki cita-cita memiliki sebuah band. Tapi, untuk lagu yang didengarkan Ia seorang pemilih. “Tai, jika untuk lagu yang didengarkan, Ia tak boleh egois” pikirnya terkadang.
Saat kilatan meteor kemudian segera jatuh. Doanya diperkuat, namun, sebuah mimpi baru, tiba tiba hijrah. Mendatanginya berbondong bondong, mirip sperma yang berkejaran dan berlomba mengejar ovum yang diam. Sekelebat demi sekelebat mengganggu. Tapi, sesosok satpam dalam satu neuron otaknya ternyata cukup berani, selektif dalam memilih. Menolak, untuk kriteria yang tak tentu benar.
Sampai akhirnya, muncullah mimpi itu dalam cetak biru otak. Sebuah mimpi sejak Ia baru keluar dari rahim seorang wanita rasanya. Suci. Berasa begitu silau.
Lama kelamaan mimpi itu tetap terasa mengganggu. Rencananya telah matang. Baik finansial dan semua kebutuhan telah tercukupi. Di umurnya sekarang yang menginjak 56 tahun, sebuah mimpi yang menjadi doa saat meteor melintas di atas kepala tetap menjadi tujuan hidup. Saat umurnya baru 10 tahun.
Semua jerih payah, banting tulang dan membanting harga diri untuk modal dan semua yang perlu dipersiapkan tak ada artinya. Semua penat, lelah, pusing, gila dan tak tahu malu.
Menjadi germo, ustadz, penjual narkoba, engagement retail sebuah perusahaan, asisten kebun sawit, marketing bank, tukang cilok, guru les piano dan calon wakil pengemis yang duduk di kursi dewan pengemis dunia pernah dilalui. Pahit manis dunia bumi sedikitnya pernah dicoba.
Demi sebuah mimpi, demi mencapai dan mewujudkannya. Sebuah mimpi yang membuatnya tetap bangkit saat jatuh, mimpi yang mengatakan bahwa Ia harus bangun pagi buta saat tidur baru 1 jam. Untuk mimpi di mana kerja saat sakit, dan mendukung seperjuangan walau Ia sendiri ditelantarkan terkadang.
“ Aku akan berangkat. Besok pagi ini.” Ucapnya pada seorang karib yang telah menjadi mayat dan terus diletakkan di ruang tamu rumahnya.
“Tak usah kau tanya mengapa baru sekarang. Kau juga keburu mati si. Harusnya Kau ikut juga denganku.”
“Tapi tak apa, nanti kuceritakan. Bagaimana menyenangkannya.”
Beranjak. Membawa cangkul dan bibit pohon.
Sesampainya di mars, Ia turun dari pesawat. Peralatan dibawa secukupnya dan kemudian bersiap. Mencari cari area yang benar, cocok untuk mengukir sejarah.
Mulai menggali lubang tanam dan ternyata tanah mars tak semudah tanah di bumi untuk digali. Di bumi, menggali hanya butuh uang, di mars menggali butuh perjuangan. Tapi, terus saja Ia gali, sedikit demi sedikit.
Daun daun di bibit yang Ia bawa dari bumi juga mulai layu. Air untuk menyiram juga tak seberapa. Tapi, karena mimpi, yah entenglah rasanya.
Akhirnya, Ia menanam pohon di Mars.