Menapaki Langit
Tak akan pernah sepertinya. Sebab kalimatnya hanya sampai di ujung tenggorokan. Menanyakan apakah pantas dirinya sendiri untuknya?
Langkahnya telah tertinggal jauh di perempatan. Sejak Ia turun dari gerbong kereta itu. Kota ini telah menyuguhkan sekelumit kenangannya tempo dulu.
Yang pasti, itu adalah kisah lama. Cerita yang saat itu memang begitu menyenangkan untuk dilakukan. Ia sadar betul bahwa saat itu adalah momentum dan salah satu hal yang ia lakukan dengan mencintainya.
Hari ini Ia kembali lagi ke kota ini. Menyusuri kenangan lampau dengan berjalan kaki memandang laut. Tak ada yang berubah darinya. Pun tentang rasa.
Sedangkan sosok wanita itu. Entah bagaimana kabarnya hari ini. Tak ada hak untuk bertanya kabarnya sekarang, karena mereka teman dan dulupun sama. Barangkali hidupnya telah bahagia di kota asalnya sana.
Hari ini pula Ia duduk, kakinya diangkat menekuk di atas kursi. Berharap esok tak akan terjadi hal yang Ia bayangkan. Terlebih doanya sekarang masih sama. Sama sama mengharapkan keajaiban. Walaupun mungkin doa yang salah, sepertinya.
Tak ada tendensi. Pengecualian tak membumbui apapun. Semoga sehat dan lancar urusannya adalah prolog doa. Setelahnya mungkin Tuhan dan dirinya yang tahu.
Sebab meyakini hal yang tidak bisa diyakinkan dan percaya untuk apa yang tak bisa dipercayai adalah retorika hidup yang menyenangkan.