Merutinkan.
Sesudah kejadian sebelumnya. Beberapa punggung menjadi letih. Tak cukup sekedar menaruhnya di atas kasur. Karena banyak yang tersinggung dengan pekerjaan yang selalu dilihat. Bahkan, kelelawar tak berniat untuk melirik, barang sebentar. Yang terjadi berikutnya bukanlah skenario yang pas. Karena tertidur dan bernyawa separuh adalah menghabiskan gulungan takdir yang terus ingin dibuka lebar lebar.
Satu abstrak dengan ukuran kanvas besar tak dibuat dengan telinga untuk mendengar. Karenanya, Sang Pelukis tak pernah ambil risau dengan omongan orang lain mengenai karyanya. Seorang anak yang masih dalam proses dilahirkan. Dengan keringat, dengan candaan dan romantisme lebih bernilai daripada sebuah suara. Mereka dengan mulut besarnya hanyalah kumpulan rumput yang diinjak kala Ia melangkah keluar rumah, mencari udara segar dan menikmati goresan di kanvas putih yang telah selesai.
Rasa sakit akan tetap ada, meskipun tidak diciptakan. Ia hadir sebagai pasangan hidup yang bersifat absolut. Bukan tentang bagaimana menghindari rasa sakit, melainkan bagaimana rasa sakit itu bisa dinikmati dengan baik. Celoteh seorang gelandangan dengan peci dan sarung yang disampirkan di badan. Tak ada yang mengenalnya sebelum pasar kembali terbakar.
Beberapa mata mulai letih, dan rongrongan suara orang banyak tak cukup mampu menguliti. Karena sebuah prinsip, Ia ada dengan keyakinan, bahwa karena berpikir Ia ada. Bukan juga sebuah tali yang perlu disambung sama ukuran. Karena hasil dari apa yang dituangkan, sepersekian mengandung keegoisan. Karena sebuah karya diciptakan tidak untuk menyenangkan orang lain.
Ia lahir karena keinginan dan wadah eksklusif untuk meluapkan egois tanpa menyakiti apapun.
Tanjung Selor, 11 Juli 2023