Pemakai Narkoba dan Sebuah Lukisan

Ryan Prihantoro
3 min readNov 13, 2019

--

Di sebagian Jakarta tempo dulu adalah masyarakat multi latar belakang yang hidup dengan prioritas masing-masing. Perannya telah didefinisikan, entah karena tuntutan, tagihan hutang, masa depan, kondisi kampung halaman, jati diri, dan kebebasan.

***

Umurnya sekitar 20-an. Rambut gondrong dan beberapa tato menempel. Tato dan daki tak terlalu berbeda jauh terlihat. Sudah berapa hari ini ia tak mandi. Terlihat sering nongkrong di Pasar Senin, tangan kanan nya kenal baik dengan kuas dan tangan kiri mencengkeram benda setengah lingkaran untuk meletakkan cat pewarna. Dengan tinggi tak lebih dari 155 cm, kanvas yang dibawanya terlihat sudah setengah dari badannya. Pasar Senin dengan bermacam kegiatan dan kesibukan, Ia hanya menikmati sebuah imajinasi yang ingin dituangkan di selembar kanvas putih.

Rutinitas dengan ditemani secangkir kopi hitam dan rokok kretek. Memulai hari di siang yang datang, perut lapar karena tak pernah ada agenda sarapan pagi. Lebih baik mengurangi makan, digantikan dengan beberapa batang rokok yang juga perlu uang untuk membeli. Makan siang, ah itu juga tak pernah ada karena sarapan, makan siang, dan makan malam semuanya direkap menjadi satu kali makan dalam sehari. Tercetak jelas tulang rusuk yang nampak di dada tak bidang itu. Di beberapa tempat terlihat tompel tompel hitam yang sedikit berbentuk-bentuk bunga mawar yang dilukis oleh temannya dulu dengan jarum. Ia merantau ke Jakarta untuk sebuah kebebasan. Sebab di kampung halaman yang hampir selalu hujan itu, latar belakang keluarganya adalah alim ulama yang mengurus salah satu pondok pesantren kecil. Sedikit pengekangan dan banyak aturan.

Kebebasan yang ingin dicari. Sebuah jati diri yang terkadang terkekang karena budaya. Mencoba mengadu nasib dan peruntungan di Ibu Kota. Jakarta bukanlah kota yang mudah. Mental dan fisik diuji secara bersama-sama dan semakin hari makin besar cobaan yang datang. Dengan bekal yang tak punya, hanya sedikit hobi mengenai lukisan-tak akan cukup untuk bisa survive di Jakarta.

Terpaan yang tak henti-hentinya itu yang menghantarkannya ke gerbang awal dunia narkoba. Dari memulai sampai terus menerus ketagihan. Bagaimana caranya membeli barang itu? Sedang untuk makan saja tidak punya duit. Jalan satu-satunya adalah dengan berhutang ke sana kemari. Beruntung pikiran nakal merugikan orang lain belum sempat dilakukan, hanya pernah dan sering terbersit di kepala. Makin lama bercumbu dengan narkoba-tibalah suatu ketika bahwa Ia sadar hidup tak hanya untuk seperti ini. Menjadi seorang pecandu-sedang sebenarnya kopi dan rokokpun cukup, ya kadang-kadang dengan minuman keras-intisari atau ciu.

Saat keberuntungan lagi tak hinggap. Padahal efek kekurangan narkoba sedang mencapai puncak atau banyak orang bilang dalam kondisi sakau. Sakau yang benar-benar tak tertahankan. Entah apa yang ada dipikirannya-dengan menahan rasa sakau yang begitu menyiksa. Di depannya telah ada kanvas dan beberapa sisa cat air. Lembar kanvas putih itu dengan coretan tegas tak lama penuh dengan bermacam warna. Di tengahnya, saat-saat kondisi Sakau yang tak kunjung henti dan mencapai klimaks terpikirkan sebuah dialog pada dirinya sendiri. Bahwa dengan yakin, kehidupan seperti ini harus segera disudahi. Lukisan yang penuh coretan itu, dengan sisa kesadaran dan menahan rasa sakit dituliskanlah sebuah kalimat “bismillah”. Kalimat yang diharapkan sebagai pembuka hidup yang baru dan menutup kehidupan lama yang segera ingin disudahi.

Lukisan itu sekarang terpasang di kamarku. Setiap melihat lukisan itu, selalu terbayangkan sosok pria yang bercerita dengan penuh khidmat. Sebelum lukisan itu kubawa ke Jogja aku sangat ingat pertama kali dilihatkan lukisan yang tak berbentuk itu. Saat itu hujan turun, namun cukup hangat karena sebuah kopi dan rokok cukup ampuh mengusir. Padahal sebenarnya di antara lukisan-lukisan itu banyak sekali lukisan surealis atau abstrak yang sangat lebih bagus. Namun, dari sekian banyak lukisan-salah satu yang memiliki arti mendalam adalah lukisan ini. Aku mendengarkan dengan baik dan saksama. Terima kasih telah menceritakan kisah hidup yang keren.

--

--

No responses yet