Pejalan.
Pandemi Covid 19 mulai marak dan Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan yang sifatnya harus dan wajib ditaati oleh banyak orang. Tahun 2020 menjadi tahun dengan warna baru yang cukup mencekam bagi beberapa orang dan menjadi wahana tragedi baru bagi beberapa orang yang lain. Ya, setiap orang berhak atas pemaknaan akan suatu hal masing-masing. Apalagi yang sifatnya masih di dalam pikiran dan tidak dituangkan dalam hal apapun.
Doa yang tulus disampaikan kepada mereka yang kehilangan sanak saudara, kerabat, keluarga, teman baik, sahabat, orang tua, nenek kakek, dan semua orang tersayang di masa pandemi Covid 19. Menulis ini bukan ingin mengingatkan tentang sebuah peristiwa, melainkan sebuah renungan untuk berdoa dan sebuah renungan bahwa manusia memang sejatinya sampai batas berusaha, untuk kemudian berdoa. Perihal ujung dan hasil, sudah ada skenario yang lebih canggih yang mengaturnya.
Tahun 2020 adalah euforia kelulusan bagi beberapa orang yang juga tidak bisa dirayakan. Inisiatif-inisiatif baru dalam kegiatan dan perayaan yang harusnya dilaksanakan dengan bertatap muka, dijembatani oleh teknologi saat itu. Semua memang tak akan sama, hanya saja alternatif dari sebuah fenomena memang perlu untuk dilakukan. Di tengah serba ketidakpastian.
Perayaan wisuda yang seharusnya bisa dilakukan di gedung Graha Sabha Pramana (GSP) mendadak tidak ada. Digantikan dengan wisuda melalui live platform Youtube, kalau tidak salah. Suasana yang kurasa kurang menarik, kala itu. Berhubung posisi dan kondisi yang juga tidak memungkinkan, alhasil undangan mengikuti wisuda tetap dihadiri dengan login dan melihat di layar hp mungkin 10–15 detik. Kemudian ditutup kembali. Sekedar ingin melihat saja.
Bukannya tidak ingin dan tidak mau. Berhubung saat itu juga posisi sudah di tengah Nursery untuk mengurus bibit Acacia crassicarpa. Terlebih pagi, menjadi momentum yang cukup esensial menyelesaikan hari. Bibit bibit itu tetap tidak akan bisa mengambil air sendiri untuk minum, atau mengambil pupuk sendiri untuk makan. Teman teman pekerja perlu diingatkan untuk melaksanakan pekerjaannya masing-masing dan dikontrol. Pengecekan kualitas bibit dan mengatur tenaga memang penting dituntaskan di pagi hari. Hitung-hitung acara wisuda kala itu bukan sebuah perkara prioritas, saat itu. Kembali lagi, setiap orang punya pemaknaannya tersendiri melihat realita.
Dengan pada akhirnya sekarang belum memiliki foto wisuda, itu perihal lain. Pernah saat di rumah ide foto bersama dengan mengenakan atribut wisuda muncul. Tapi, wacana dan eksekusi memang tak pernah seimbang, alhasil wacana itu tetap akan menghadirkan harapan di saat posisi jauh dari rumah. Menjadi alasan bahwa harus pulang, untuk menuntaskan wacana yang sudah sempat terucap. Baru baru sekarang ini sadar, bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan memang tak pernah pudar. Ia hanya terbang ke langit, menunggu saatnya dipetik untuk dilaksanakan, dijilat, atau ditertawakan. Hehe
Tapi yang jelas, alasan merindukan rumah akan tetap bermacam-macam. Menghadirkan suasana obrolan malam setelah sholat Maghrib berjamaah di rumah, di ruang keluarga, di depan televisi yang tak dihidupkan, dan sembari makan malam yang tak pernah dilakukan bersamaan. Karena prinsipnya siapa yang lapar, Ia yang makan. Memakai sarung, membuka Al-Quran. Merapikan barang, mengembalikan alat yang digunakan ke tempatnya. Kaki yang naik ke sofa satu. Membuka koran yang tak pernah diganti dan ditambah. Membicarakan banyak hal dengan kesederhanaan.
Banyak kalimat yang saat itu mengudara, menimbulkan syukur yang teduh, dan mungkin sebuah keniscayaan yang bisa dirindukan karena jarak yang terhitung bilangan angka. Alhasil, sekali lagi mengamini sebuah tulisan di walpaper google di HP Nexian kelas dua SMP bahwa
“Seorang pejalan sangat memaknai apa itu rumah”
Benar adanya. Bahwa terasa saat tidak bersama, memang demikian. Doa khusuk bagi para pejalan yang selalu mendoakan rumah dan pulang.
Kuala Pembuang
11/10/2022