Satu dari Banyak Negeri

Ryan Prihantoro
2 min readFeb 21, 2024

--

Sekembalinya dari peradaban, matanya takjub. Sebab banyak getir yang Ia tangisi tak pernah terjadi. Semua ketakutannya hanya terjadi di dalam imajinasi.

Beberapa sepeda tua mulai dikayuh dengan kaki kaki tua tanpa kepala. Di negeri para bedebah tak berjubah, mereka terkadang lupa menaruh kepala di mana saja. Banyak yang tercecer di pinggir jalan, sebagai mainan bola oleh anak anak, sebagai pengganti gas elpiji 3 kilogram, sebab katanya kepala tanpa otak punya gas yang bagus untuk menyalakan api warna biru. Banyak ibu ibu senang karenanya.

Terlebih, tak ada lagi yang berjalan. Sebab muncul fatwa saat pandemi dan matahari tidak terbit di sepertiga tahun bahwa menginjak tanah adalah haram. Makanya, banyak dari orang-orang melapisi tanah dengan lembaran uang, emas perhiasan, baju brandid, atau apapun yang rasanya tak bernilai. Harga diri lebih dijunjung tinggi untuk sekedar tak menginjakkan kaki di tanah sebab harga dalam sosialita lebih tinggi dari sekedar materi dan anak cucunya.

Di samping negeri itu. Ada satu negeri yang katanya cukup makmur. Orang orangnya suka berlari dan berjalan kayang. Dengan hukum yang sama bahwa menginjak tanah masih bersifat haram. Lantai-lantai di keramik dan batu batu giok warna warni terhias di sepanjang negeri. Tak ada sejengkal tanah yang terlihat. Orang orang di negeri itu berbadan kekar, berkaki enam, bersungut dan berwarna cokelat. Di era abad ke 20 an mirip hewan kecoa dengan badan manusia berkepala hewan yang bisa berjalan.

Katanya mereka hasil rekayasa genetika, sebuah penelitian agar tidak cepat tua dan hidup sepanjang matahari tetap terbit. Karena lebih masuk akal menjadi layaknya kecoa. Semua memimpikan dan berani membayar mahal untuk menjadi subjek cemerlang eksperimen yang sangat dibanggakan di masanya

dan pada akhirnya terwujud negeri dengan isi para manusia berbentuk kecoa.

Selamat makan

Bulungan, Kaltara

--

--

No responses yet