Semburat Warna Jejak

Ryan Prihantoro
5 min readSep 22, 2020

--

Edisi Reduksi Penat Pikir 1 : Semburat Warna Jejak

1

Ada kalanya hadir hiruk pikuk kepul. Letih dengan tamparan debu jalan dan bising nyanyian kota. Hasrat juga lumpuh di sembahyang yang tak pernah sunyi. Bibir mereka telah jontor, hidungnya juga penuh lumpur, kemarin harusnya malaikat telah datang berkunjung. Memanggil untuk disuguhkan coklat panas dan pisang goreng.

Lalu, suara suami istri yang sedang bersenggama masuk di telinga anak penjual koran. Di perempatan ia menggambar diri dengan kapur di atas aspal. Tangannya mulai kaku, di pegangnya koper berisi untaian janji berseragam. Menghapus kesedihan, bahwa ibunya telah mengusirnya dari rahim. Sosok wanita itu sekarang hanya menengadah di langit, meratapi kesedihan-anaknya yang tertidur penat untuk hari esok di perempatan jalan. Sembari berbisik kepada sang anak, “Ah, nak, maaf kan. Ibu hanya membawamu masuk ke dalam dunia yang belum pernah lebih baik dari ini dan Ibu juga puas bahwa kamu akhirnya merasakan itu, syukurin.”

Ada yang sedang bercerita, membuka buku majalan dewasa lewat piranti baru yang dibelikan seorang Bapak yang menggerogoti uang rakyat. Dihadirkannya kesenangan untuk seorang anak yang dicintainya. Tapi sayang, ia melupakan kesedihan seorang penjual gorengan yang mana untuk hari esok makan masih menjadi pertanyaan.

2

Tangannya bersandar di atas meja, sebelah tangan lagi menopang dagu. Sembari sesekali bibirnya mengeluarkan asap rokok. Kamarnya sudah penuh dengan kepulan dan bau khas yang tiap kali keluar dari bibir-bibir yang serupa. Mungkin memang suatu kebiasaan yang, yah, pada umumnya anak muda seumurannya. Selain asap rokok, ada hal lain yang memenuhi ruangan tiga kali tiga itu. Ya, sederet pertanyaan tentang kehidupan dan kepalanya carut marut membaca tulisan. Terkadang kupikir ia mempertanyakan hidup, dengan jawaban pasrah bahwa “urip yo koyo ngene”. Lingkarnya adalah studio ghibli dengan gambar animasi yang tergores istimewa. Mungkin, terkadang ia juga sedih atau bahagia yang samar. Atau barangkali bahagianya akan muncul setelah tercetak rapi kesedihan di hidupnya.

Di suatu malam, Ia juga mempertanyakan perihal pertemanan. Bagaimana seharusnya menjadi teman. Apakah sah apabila hidup untuk membalut lingkungan. Ya,

Ah, untuk apa memikirkannya. Toh hidup sudah sebegini sulit dan rumit. Oleh karena itu, menjadi cupu apabila hidupnya harus dipermudah. Malam menjadikan manusia ini untuk membuat hidup agar semakin rumit, jangan pernah sekali-kali mudah, pikirnya.

3

“Apa yang ingin diketahui dari hidupmu 10 tahun ke depan?”

“Entahlah, aku tak yakin hidup akan membawaku pada waktu itu. Tapi jikalaupun umur menghendakiku untuk mencapainya, aku ingin mengetahui tentang apakah Tuhan menghendaki atas apapun yang aku lakukan selama ini?”

“Jika Tuhan menginginkan kamu mengulang hidup, rasa-rasanya hidup seperti apa itu? Kupikir aku ingin mencoba dengan mengaduk teh dan gula dengan tangan kiri.”

“Aku lebih ingin Tuhan tak mengulang hidupku lagi. Aku ingin berada di-sisi-Nya saja bahkan sekalipun hanya untuk memuja dan memuji asma-Nya. Tapi, buat apa? Toh Dia tak butuh itu juga.”

“Berapa banyak anak yang ingin kamu punya?”

“Mungkin jika hidupku masih bisa sedikit lebih lama, aku ingin memiliki 2 atau 3 anak. Sekedar ingin melihat bagaimana wajahku bisa ku wariskan kepada orang lain. Haha!”

“Barangkali tak hanya wajah, beserta cerita-ceritanya. Lalu, nampaknya kamu akan menua dan melihat mereka besar nantinya, merasakan hidup dan mungkin berjalan-jalan di kampus seni untuk menumpang solat dan tertawa dengan alasan absurd sepertinya.”

“Sebenarnya aku tak begitu peduli. Bagaimana cerita mereka nanti, biarkan mereka yang merangkai dan menentukan. Toh tentang hal-hal absurd di luar rencana akan terangkai dengan sendirinya, seiring kemana kaki mereka melangkah.”

“Barangkali, lalu dari begitu banyak cerita. Apa yang ingin sekali kamu ceritakan pada mereka nantinya?”

“Aku akan bercerita tentang ‘naik gunung tuh enak loh, nak! Kalian harus cobain. Atau minimal mainlah ke alam bebas sesekali’. Begitulah mungkin. Haha!”

“Itu adalah cerita yang mengesankan sepertinya. Pernahkah hidup dengan berbagai pertanyaan dan harapan, sampai-sampai pertanyaan itu membuatmu tak cukup berani untuk menanyakannya, barangkali terlalu memilahnya-mempertimbangkan ini itu, sampai pertanyaan itu mungkin tak akan pernah ditanyakan sama sekali.”

“Tentu ada. Ada beberapa pertanyaan yang sudah tanggal karena aku terlalu lelah bertanya yang entah pada siapa sebenarnya. Pun juga beberapa yang lain masih terlintas hingga saat ini. Kita hidup memang sebuah bongkahan batu besar di pundak kita masing-masing. Entah batu itu serupa deretan pertanyaan, ekspektasi, tekanan, tuntutan, atau hal-hal lainnya. Tapi di luar itu semua, memang ada satu pertanyaan yang paling mengganggu dan mengganjal. Pertanyaan tentang hal-hal bodoh dan ceroboh yang selama ini aku lakukan sendiri. Kenapa dan mengapa tak tak kunjung menemui jedanya.”

4

“Pernah lelah? Selelah lelahnya? Lelah yang bukan dalam artian fisik. Tapi batin dan mental”

“Pernah, karena menunggu. Tapi anehnya, terkadang ada alasan sendiri untuk samar secara tiba-tiba, rasa lelah itu, digantikan dengan rasa syukur. Itu alasan yang sangat menarik dari menunggu.”

“Bagaimana bisa menjaga pikiran tetap positif seperti itu, bahkan disaat-saat terberat sekalipun? Aku seringkali hanya bertemu gelap.”

“Terkadang menjadi lilin sedikit menyenangkan, kita mencerahkan sekitar dan padahal kita habis sendiri lama-kelamaan.”

“Ah, analogi lilin ternyata. Hmmm, menurutmu adakah yang lebih baik dari bermanfaat bagi sekitar?”

“Aku belum menemukannya sampai sekarang, Bapak selalu berpesan selain solat 5 waktu beliau hanya menambahkan jadilah orang yang suka mengalah. Tapi, nggak munafik entah lebih baik atau tidak maupun tidak begitu menggunakan kacamata baik dan buruk menurutku jawabannya adalah mencintai.”

“Apa yang ingin diketahui dari hidupmu saat ini dan 10 tahun ke depan?”

“Yang ingin kuketahui adalah sesuatu yang itu adalah given (re:pemberian) Allah dan dititipkan pada seseorang. Aku di usia 33 tahun, aku ingin bertanya padamu, apakah di saat itu kedua orang tuaku telah kunaikkan haji, apakah aku berhasil menyekolahkan adikku, dan siapa pendamping hidupmu saat ini. Sepertinya itu.”

“Pertanyaan yang cukup realistis juga pada umur sekian. Tapi di antara itu, mana yang menurutmu paling ingin sekali segera terjawab?”

“Aku sering menginginkan jawaban yang sesuai dengan keinginganku dan itu kusampaikan dalam doa kepada Sang Pencipta. Namun, untuk saat ini “sesuatu yang given” itu menjadi sebuah pertanyaan yang entah mengapa dan alasan apa ingin kutanyakan, minimal itu. Walaupun memang kondisi dan situasinya tidak mungkin.”

“Jika suatu saat ada orang yang membedah otak mu, bagian mana yang akan kau berikan pada orang terspesial mu?”

“Aku tak yakin masih ada yang pantas untuk diberikan dari tubuhku, karena kupikir orang yang spesial itu terlampau kasihan menerimanya, kecuali jika memang Ia sangat membutuhkannya. Tapi, apapun itu aku ingin memberikan itu kalau bisa seperti apa yang ia minta dan ia butuhkan. Tanpa jawaban normatif dan munafik aku ingin memberikannya hati, walaupun memang hatinya dan sosoknya mampu sampai saat ini membuatku ingin menjadi lebih baik dan mencoba untuk bisa pantas di dekatnya. Tapi aku ingin Ia tahu bahwa dengan hati itu, Ia bisa mengingat bahwa manusia tanpa agama, budaya, norma dan lain sebagainya. Hanya Ia dan Allah memiliki hati nurani, hehe”

“Menakjubkan memang hati manusia. Walau di satu sisi juga yang paling menimbulkan bencana. Nah, bagaimana kau berbuat baik pada orang-orang sekitarmu? Atau orang di lingkunganmu? Terutama perempuan.”

“Jika boleh Allah izinkan jangan pernah sekalipun aku membuatnya menangis karena perbuatanku yang membuatnya kecewa dan sedih. Bukan menangis karena ingin meluapkan hal-hal lain. Sepertinya aku udah pernah cerita. Sebenarnya terkadang aku juga berpikir untuk tidak mengganggu, karena sesekali muncul pemikiran bahwa dengan aku hadir, barangkali hidupnya menjadi tidak baik-baik saja, seperti sebelum bertemu denganku, misalnya.”

--

--

No responses yet